CERITA RAKYAT
SANGKURING
KELAS
VII – F
Disusun Oleh :
DESSY MARIE YANNY
MADRASAH TSANAWIYAH
NEGERI 1 ( MTsN)
CIAMIS
2016
CERITA RAKYAT
SANGKURIANG
Sangkuriang merupakan sebuah legenda yang sangat
terkenal di kalangan masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia. Legenda ini
mengisahkan perjuangan seorang pemuda bernama Sangkuriang untuk mendapatkan
cinta dari seorang wanita cantik, yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri
yang bernama Dayang Sumbi. Alhasil, keduanya pun bersepakat untuk menikah.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya sendiri, Dayang
Sumbi berusaha untuk menggagalkan pernikahan mereka dengan berbagai upaya.
Upaya apa saja yang dilakukan Dayang Sumbi untuk menggagalkan pernikahannya
dengan Sangkuriang? Lalu, mengapa Dayang Sumbi bersikeras untuk menggagalkan
pernikahan tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Sangkuriang berikut
ini!
* * *
Alkisah, di daerah Jawa
Barat, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Sungging Perbangkara. Ia
sangat gemar berburu binatang di hutan. Suatu hari, seusai berburu, Prabu
Sungging membuang air kecil (pipis) pada daun caring (keladi
hutan). Saat ia meninggalkan tempatnya buang air kecil, tiba-tiba seekor babi
yang bernama Wayungyang datang meminum air seninya yang tergenang di daun
keladi itu. Rupanya air seni Prabu Sungging mengandung sperma sehingga
menyebabkan Wayungyang hamil. Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun
melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik jelita. Setelah membersihkan
tubuh bayi itu dengan menjilatnya, Wayungyang meletakkannya di atas batu besar
di balik semak-semak, dengan harapan ayahnya (Prabu Sungging) akan
menemukannya.
Ternyata harapan Wayungyang tercapai. Tak berapa lama
setelah ia meninggalkan bayi itu, Prabu Sungging lewat di tempat itu dan
mendengar ada suara tangisan bayi dari arah semak-semak. Dengan hati-hati,
Prabu Sungging berjalan perlahan-lahan mendekati sumber suara itu dan mendapati
seorang bayi perempuan mungil dan berparas cantik tergeletak di atas sebuah
batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia pun membawa pulang bayi itu ke istana.
Sang Prabu memberinya nama Dayang Sumbi. Ia merawat dan membesarkan Dayang
Sumbi dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Dayang Sumbi tumbuh menjadi
gadis yang cantik jelita. Selain cantik, ia juga sangat mahir menenun dan
pandai memasak. Tak heran jika para raja dan pangeran silih berganti datang
melamarnya. Namun, tak satu pun lamaran yang diterimanya. Ia tidak ingin
terjadi pertumpahan darah di antara para raja dan pangeran tersebut dengan
hanya menerima salah satu pinangan dari mereka. Akhirnya, dengan restu sang
Prabu, Dayang Sumbi mengasingkan diri ke sebuah hutan lebat yang terletak jauh
dari istana. Sang Prabu membuatkannya sebuah pondok di pinggir hutan dan
menyiapkan alat-alat tenun kesukaannnya. Di pondok itulah, Dayang Sumbi
menghabiskan waktunya sambil menenun kain.
Pada suatu malam, ketika Dayang Sumbi sedang menenun
kain, tiba-tiba segulungan benangnya terjatuh dan berguling ke luar pondoknya.
Karena malam sudah larut, ia merasa takut untuk mengambil gulungan kain itu.
Tanpa disadarinya tiba-tiba terlontar ucapan dari mulutnya.
“Siapapun yang mau mengambilkan benang itu untukku,
jika dia perempuan akan kujadikan saudara, dan jika dia laki-laki akan
kujadikan suamiku,” ucapnya.
Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba seekor anjing
jantan berwarna hitam datang menghampirinya sambil membawa gulungan benang
miliknya. Namun, apa hendak dikata, ia sudah terlanjur berucap. Ia harus
menepati janjinya.
“Baiklah, Anjing. Aku akan mempertanggung jawabkan
ucapanku. Meskipun kamu seekor anjing, aku tetap bersedia menjadi istrimu,”
kata Dayang Sumbi.
Mendengar perkataan Dayang Sumbi, anjing hitam itu
tiba-tiba menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan. Dayang Sumbi
sangat terkejut dan heran menyaksikan kejadian itu.
“Hei, kamu siapa dan dari mana asal-asulmu?” tanya
Dayang Sumbi penasaran.
“Maaf, Tuan Putri! Saya adalah titisan Dewa,” jawab
pemuda itu.
Akhirnya, Dayang Sumbi dan pemuda tampan itu saling
jatuh dan menikah. Keduanya bersepakat untuk merahasiakan hubungan mereka
kepada siapa pun, termasuk kepada Prabu Sungging Perbangkara. Sejak saat itu,
ke mana pun Dayang Sumbi pergi, ia selalu ditemani oleh suaminya. Dayang Sumbi
memanggilnya dengan si Tumang.
Setelah setahun menikah, mereka pun dikaruniai seorang
anak laki-laki yang tampan. Mereka memberinya nama Sangkuriang. Beberapa tahun
kemudian, Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang rajin dan pandai. Setiap hari,
ia ditemani si Tumang pergi ke hutan untuk berburu rusa dan mencari ikan di
sungai. Namun, ia tidak menyadari bahwa anjing yang selalu menenaminya itu
adalah ayah kandungnya sendiri.
Pada suatu hari, Sangkuriang pergi berburu rusa ke
tengah hutan. Hari itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan hati seekor rusa
untuk dipersembahkan kepada ibunya. Sudah hampir seharian ia berburu, namun tak
seekor binatang buruan pun yang menampakkan diri. Sangkuriang pun mulai kesal
dan memutuskan untuk berhenti berburu. Ketika akan pulang ke pondoknya,
tiba-tiba seekor rusa berlari melintas di depannya. Ia pun segera memerintahkan
si Tumang untuk mengejarnya.
“Tumang! Ayo kejar rusa itu!” seru Sangkuriang.
Beberapa kali Sangkuriang berteriak menyuruhnya, namun
si Tumang tetap tidak beranjak dari tempatnya. Ia pun semakin kesal melihat
kelakuan si Tumang.
“Hei, Tumang! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu
tidak mau menuruti perintahku?” bentak Sangkuriang sambil mengancam si Tumang
dengan panahnya.
Tanpa disadarinya, tiba-tiba anak panahnya terlepas
dari busurnya dan tepat mengenai kepala si Tumang. Anjing itu pun tewas
seketika. Sangkuriang kemudian mengambil hati si Tumang untuk dipersembahkan
kepada ibunya. Sesampainya di pondok, ia menyerahkan hati itu kepada ibunya
untuk dimasak. Setelah menyantap hati itu, tiba-tiba Dayang Sumbi teringat pada
si Tumang. Ia pun menanyakan keberadaan si Tumang.
“Mana si Tumang? Bukankah tadi dia pergi bersamamu?”
tanya Dayang Sumbi dengan cemas.
“Maaf, Bu! Saya telah membunuhnya. Hati yang ibu makan
itu adalah hati si Tumang,” jawab Sangkuriang dengan tenang, tanpa merasa
bersalah sedikit pun.
Seketika itu pula Dayang Sumbi menjadi murka. Ia
sangat marah karena Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri.
“Apa katamu? Kamu telah membunuhnya? Dasar anak tidak
tahu diri!” seru Dayang Sumbi seraya memukul kepala Sangkuriang dengan sendok
nasi hingga berdarah dan meninggalkan bekas.
Sambil menangis tersedu-sedu, Sangkuriang berusaha
untuk membela diri. Ia merasa bahwa dirinya tidak bersalah. Ia melakukan semua
itu tidak lain hanya untuk menyenangkan hati ibunya. Akan tetapi, Dayang Sumbi
menganggap dia telah melakukan kesalahan besar, karena membunuh ayah kandungnya
sendiri. Namun, Dayang Sumbi tidak mau menceritakan hal itu kepada Sangkuriang,
karena takut rahasianya terbongkar. Merasa ibunya tidak lagi sayang kepadanya,
Sangkuriang pun pergi mengembara dengan menyusuri hutan belantara.
Sejak itu, Dayang Sumbi selalu duduk termenung. Ia
merasa sangat menyesal telah memukul dan membiarkan putranya pergi
meninggalkannya. Setiap malam ia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar ia
dapat bertemu kembali dengan putranya. Berkat ketekunannya, Tuhan pun
mengambulkan doanya. Tuhan memberinya kecantikan yang abadi agar wajahnya tidak
berubah termakan oleh usia, sehingga putranya masih dapat mengenalinya.
Sementara itu di di tengah hutan belantara,
Sangkuriang berjalan sempoyongan sambil memegang kepalanya yang terluka. Karena
tidak kuat lagi menahan rasa sakit, akhirnya ia jatuh pingsan. Cukup lama ia
tidak sadarkan diri. Betapa terkejutnya ketika ia tersadar. Ia melihat seorang
tua laki-laki yang tidak pernah ia lihat sebelumnya sedang duduk di sampingnya.
“Kakek siapa? Aku ada di mana?” tanya Sangkuriang
heran.
“Tenanglah, Anak Muda! Kakek adalah seorang pertapa.
Nama Kakek Ki Ageng. Kakek menemukanmu sedang pingsan dan terluka parah di
tengah hutan. Kamu sekarang berada di dalam gua tempat Kakek bertapa,” jawab
orang tua itu.
Kemudian Ki Ageng menanyakan tentang asal-usul Sangkuriang.
Namun, Sangkuriang tidak bisa lagi mengingat masa lalunya. Bahkan namanya
sendiri pun ia lupa. Akhirnya, Ki Ageng memanggilnya Jaka. Ki Ageng merawat
Jaka sampai lukanya sembuh dan mengajarinya ilmu bela diri dan kesaktian.
Setelah beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng, Sangkuriang pun tumbuh menjadi
pemuda yang tampan dan sakti mandraguna. Dengan kesaktiannya, ia dapat
memanggil serta memerintahkan makhluk-makhluk halus.
Pada suatu hari, Jaka meminta izin kepada gurunya
untuk pergi mencari tahu masa lalunya. Setelah mendapat restu dari Ki Ageng,
berangkatlah ia menyurusi hutan. Ia berjalan mengikuti ke mana pun kakinya
melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah gubuk di tepi hutan. Karena merasa
sangat haus, ia pun mampir di pondok itu untuk meminta air minum. Rupanya,
penghuni pondok itu adalah seorang wanita cantik jelita yang tidak lain adalah
Dayang Sumbi. Saat pertama kali melihat wajah wanita itu, Jaka tiba-tiba
teringat kepada ibunya. Namun, ia tidak yakin kalau wanita itu adalah ibunya,
karena sudah sekian lama mereka berpisah dan tentu wajahnya tidak akan secantik
itu. Begitupula Dayang Sumbi, ia tidak pernah mengira kalau Jaka itu adalah
putranya. Akhirnya, keduanya pun saling jatuh cinta dan bersepakat untuk
menikah.
Keesokan harinya, saat akan berangkat berburu ke
hutan, Jaka meminta calon istrinya untuk mengencangkan dan merapikan ikat
kepalanya. Betapa terkejutnya Dayang Sumbi ketika sedang merapikan ikat kepala
Jaka. Ia melihat ada bekas luka di kepala Jaka. Bekas luka itu mirip dengan
bekas luka yang ada di kepala putranya yang terkena pukulannya dua puluh tahun
yang lalu. Dayang Sumbi pun menanyakan tentang penyebab bekas luka itu kepada
Jaka.
“Kenapa ada bekas luka di kepalamu, Jaka?” tanya
Dayang Sumbi.
Jaka tidak bisa mengingat penyebab bekas luka yang ada
di kepalanya. Ia hanya menceritakan kepada Dayang Sumbi bahwa ada seorang
pertapa menemukan dirinya sedang pingsan dan terluka parah di tengah hutan.
Mendengar cerita itu, maka yakinlah Dayang Sumbi bahwa calon suaminya itu adalah
putranya sendiri, Sangkuriang.
Dayang Sumbi pun bingung. Ia tidak mungkin menikah
dengan putranya sendiri. Ia berusaha untuk meyakinkan Sangkuriang bahwa dia
adalah putranya. Untuk itu, ia meminta kepada putranya agar membatalkan
pernikahan mereka. Namun, Sangkuriang tidak percaya pada kata-kata ibunya.
Hatinya sudah terbelenggu oleh rasa cinta dan bersikeras ingin menikahi Dayang
Sumbi.
Melihat sikap putranya itu, Dayang Sumbi semakin
bingung dan ketakutan. Setiap hari ia berpikir untuk mencari cara agar
pernikahan mereka dibatalkan. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan
sebuah cara. Ia akan mengajukan dua syarat kepada Sangkuriang. Jika kedua
syarat tersebut dapat dipenuhi oleh Sangkuriang, maka ia akan menikah
dengannya. Sebaliknya, jika Sangkuriang gagal, maka pernikahan mereka pun
dibatalkan. Suatu malam, Dayang Sumbi menyampaikan kedua syarat itu kepada
Sangkuriang.
“Jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus
memenuhi dua syarat,” kata Dayang Sumbi.
“Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi? Katakanlah!” desak
Sangkuriang.
“Kamu harus membuatkan aku sebuah danau dan sebuah
perahu. Tapi, danau dan perahu itu harus selesai sebelum fajar menyingsing di
ufuk timur,” jawab Dayang Sumbi.
“Baiklah, Dayang Sumbi! Saya menyanggupi semua
syaratmu,” jawab Sangkuriang dengan penuh keyakinan.
Dengan kekuatan cinta dan kesaktiannya, Sangkuriang
pun segera memanggil dan mengerahkan seluruh pasukannya yang berupa
makhluk-makhluk halus untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Setelah pasukannya
siap, mereka pun menggali tanah dan menyusun batu-batu besar untuk membendung
aliran air Sungai Citarum sehingga membentuk sebuah danau. Kemudian mereka
menebang kayu-kayu besar untuk dibuat perahu. Saat tengah malam, Dayang Sumbi
secara diam-diam mengintai pekerjaan Sangkuriang dan pasukannya. Betapa terkejutnya
ia ketika melihat mereka hampir menyelesaikan semua permintaannya.
Dayang Sumbi pun gusar. Ia segera berlari ke desa
terdekat untuk meminta bantuan kepada masyarakat agar menggelar kain sutra
berwarna merah di arah sebelah timur tempat Sangkuriang dan pasukannya bekerja.
Tak berapa lama setelah kain sutra hasil tenunan Dayang Sumbi digelar,
tampaklah cahaya berwarna kemerahan di arah timur sehingga seolah-olah hari
sudah pagi. Ayam jantan pun mulai berkokok saling bersahut-sahutan. Para
makhlus halus yang melihat cahaya merah dan mendengar suara ayam berkokok
mengira hari sudah pagi. Mereka pun segera melarikan diri dan meninggalkan
perahu yang hampir selesai.
Saat mengetahui dirinya diperdaya oleh Dayang Sumbi,
Sangkuriang menjadi murka. Dengan kesaktiannya, ia menjembol bendungan yang
sudah dibuat bersama pasukannya, sehingga terjadilah banjir besar. Kemudian ia
menendang perahu yang hampir selesai hingga terbang melayang dan jatuh
menelungkup. Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang
kini dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban perahu dalam
bahasa Sunda berarti perahu yang terbalik.
Setelah peristiwa itu, Dayang Sumbi melarikan diri ke
arah Gunung Putri. Setibanya di Gunung Putri, ia tiba-tiba menghilang dan
berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Sementara Sangkuriang yang mengejarnya
kehilangan jejak dan akhirnya sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung
Berung dan menghilang ke alam gaib.
* * *
Demikian legenda Sangkuriang dari
daerah Jawa Barat, Indonesia. Secara garis besar, ada dua nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita di atas, yaitu nilai moral dan nilai sosial. Nilai
moral tersebut terlihat pada sikap Dayang Sumbi yang teguh (konsisten) dalam
menepati janji yang telah diucapkannya, yaitu bersedia menikah dengan siapa pun
yang mengambilkan gulungan benangnya, yang ternyata adalah seekor anjing. Dari
sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa betapa pun pahit akibat yang akan
ditanggungnya, seseorang harus teguh menepati janjinya.
Nilai sosial yang terkandung dalam cerita di atas
adalah bahwa di kalangan masyarakat Sunda (Jawa Barat), percintaan atau
pernikahan antara ibu dengan anak (incest) merupakan perbuatan yang
dilarang (haram). Sebab, jika hal tersebut terjadi, maka nilai-nilai sosial
yang ada dalam masyarakat akan hancur. Hal ini dapat dilihat pada usaha yang
telah dilakukan Dayang Sumbi dalam menggagalkan pernikahannya dengan putranya
sendiri, Sangkuriang. Ia mengajukan dua syarat yang diyakini mustahil dapat
dipenuhi oleh Sangkuriang. Namun, ketika Sangkuriang hampir berhasil memenuhi
persyaratannya, Dayang Sumbi tetap berusaha untuk menggagalkan pernikahan
mereka dengan membuat suasana seolah-olah hari sudah pagi, sehingga Sangkuriang
dan para pasukannya menghentikan pekerjaannya, dan usahanya berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar