Daftar Tamu

Strip kode cbox sobat

close

Jumat, 22 April 2016

Kasus sengketa pulau sipadan dan lingitan

KASUS SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LINGITAN

Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan objek sengketa internasional antara Indonesia
dan Malaysia. Pulau Sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai
Sabah Malaysia dan 40 mil laut atau 64 km dari pulau Sebatik Indonesia. Sedangkan pulau
Lingitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut atau sekitar 34 km dari pantai Sabah
Malaysia dan 57,6 mil laut atau 93 km dari pulau Sebatik Indonesia.
Persengketaan antara Indonesia dan Malaysia mencuat pada tahun 1973 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua belah negara, masing masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan Lingitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan temuan
tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau Sipadan dan Lingitan,
maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung
kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau
tersebut merupakan miliknya sesuai peta unilateral 1979 Malaysia, serta mengemukakan
sejumlah dalil, alasan dan fakta. Namun kedua belah pihak untuk sementara sepakat
mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo” dan pada tahun 1989 masalah pulau Sipadan
dan Lingitan mulai dibicarakan kembali oleh dua belah negara.

Pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang
diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi
menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint
Commision (JC), Joint Working Group (JWG)). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan
JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya masing
masing yang berbeda untuk mengatasi permasalahan ini. Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober
1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil
khusus, dan 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for The Submission to the
International Court of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the
Sovereignty over Sipadan and Lingitan Island”. Special agreement tersebut lalu disampaikan
secara resmi ke Mahkamah Internasional pada 2 November 1998. Dengan itu proses ligitasi
pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional mulai berlangsung. Kedua negara
memiliki kewajiban penyampaian posisi masing masing melalui “Written Pleading” kepada
Mahkamah Memorial pada 2 November 1999 diikuti “Counter Memorial” pada 2 Agustus
2000 dan “Reply” pada 2 Maret 2001. Lalu dilanjut dengan proses “Oral Hearing” dari kedua
negara yang bersengketa pada 3-12 Juni 2002.
Special Agreement adalah persyaratan prosedural yang memungkinkan mahkamah
memiliki jurisdiksi terhadap kasus yang dibawa ke Mahkamah Internasional. Masalah pokok
yang dimintakan dalam Special Agreement adalah Mahkamah Internasional dapat memutus
suatu perkara berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis dan dokumen-dokumen yang
diberikan oleh Indonesia dan Malaysia ke pengadilan. Special Agreement juga mencantumkan
tentang kesediaan dua belah negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri dengan lapang
dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan mengikat.
Putusan Mahkamah Agung
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian
dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan
Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan
terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun
dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil
penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk
kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah
berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi
1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau
sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan
kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori
van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas
pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian
dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat
kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878
sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah
Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan
tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun
argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masingmasing
atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan
kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula
halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan
adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau
dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta
bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari
1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep
kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan
bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam
tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan
pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut
terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas
kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan
telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P.
Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan
dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Cara Penyelesaian :
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus
menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan
dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di
Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang
sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah
Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja SipadanLigitan,
tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap
pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Sumber : http://studiespassions.wordpress.com diakses pada 14 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar