PERADABAN
LEMBAH SUNGAI INDUS
Jazirah India terletak di Asia Selatan. India
juga disebut Anak Benua Asia karena letaknya seolah-olah terpisah dari daratan
Asia. Di utara India terdapat Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi.
Pegunungan Himalaya menjadi pemisah antara India dan daerah lain di Asia. Di
bagian Barat pegunungan Himalaya terdapat celah yang disebut Celah Khaibar. Di
India terdapat berbagai bahasa, di antaranya yang terpenting yaitu sebagai
berikut.
1.
bahasa Munda atau bahasa Kolari. Bahasa
ini terdapat di Kashmir.
2.
Bahasa Dravida, mempunyai 14 macam,
seperti Tamil, Telugu, Kinare, Malayam, Gondhi, dan Berahui.
3.
Bahasa Indo-Jerman, mempunyai bahasa
daerah sembilan belas macam, salah satunya adalah bahasa Sanskerta dan
Prakreta.
4.
Bahasa Hindustani. Bahasa ini muncul di
Delhi dan merupakan percampuran antara bahasa Arab, Parsi, dan Sanskerta.
Bahasa ini disebut pula bahasa Urdu.
Mempelajari
bahasa Sanskerta merupakan salah satu upaya untuk mengetahui perjalanan sejarah
bangsa Indonesia pada masa lalu. Hal ini juga ditujukan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha pada masyarakat Indonesia, di luar
pengaruhnya pada politik, ekonomi, dan pemerintahan. William Jones berpendapat
bahwa bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang serumpun dengan bahasa Parsi,
Germania, dan Kelt. Studi tertua tentang India, membawa kita ke India pada masa
interglasial II, yaitu sekitar 400.000 SM hingga 200.000 SM. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian terhadap jenis bebatuan pada lapisan tanah di
kawasan India. Dari penelitian ini, terungkaplah sebuah fakta mengenai sejarah
manusia yang mendiami kawasan itu setelah melihat artefak-artefak peninggalan
purba di Lembah Indus. Para ahli lalu menyimpulkan bahwa di kawasan ini pernah
berlangsung sebuah peradaban Lembah Sungai Indus, yang terkenal dengan nama
peradaban Mohenjodaro-Harappa, yang berkembang pada 2300 SM. Melalui Celah
Khaibar, bangsa India berhubungan dengan daerahdaerah lain di sebelah utaranya.
Daerah Lembah Sungai Indus terletak di Barat Laut India. Sungai Indus berasal
dari mata air di Tibet, mengalir melalui Pegunungan Himalaya. Setelah menyatu
dengan beberapa aliran sungai yang lain, akhirnya bermuara ke Laut Arab.
Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Apabila Anda memperhatikan
Sungai Indus pada peta dewasa ini, maka sungai tersebut mengaliri tiga wilayah
yaitu Kashmir, India, dan Pakistan. Sisa peradaban Lembah Sungai Indus
ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu Mohenjodaro dan Harappa.
Penghuninya dikenal dengan suku bangsa Dravida dengan ciri-ciri tubuh pendek,
hidung pesek, rambut keriting hitam, dan kulit berwarna hitam.
Penemuan
arkeologis di Mohenjodaro- Harappa mulai terjadi ketika para pekerja sedang
memasang rel kereta api dari Karachi ke Punjab pada pertengahan abad ke-19.
Pada waktu itu, ditemukan benda-benda kuno yang sangat menarik perhatian
Jenderal Cunningham, yang kemudian diangkat sebagai Direktur Jendral Arkeologi
di India. Sejak saat itu, maka dimulailah penggalian-penggalian secara lebih
intensif di daerah Mohenjodaro-Harappa.
Perkembangan
kepercayaan
Masyarakat
Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini
disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya,
masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada
letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah
dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada
kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula.
Objek
yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu
tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother
Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan
jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh
bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang
bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu
dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan
ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga
tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek
pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan
tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi,
yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
Politik
dan pemerintahan
Kondisi
kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya),
tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan
Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena
pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke
tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata
pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat
peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu
melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari
dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan.
Faktor
penyebab kemunduran
Beberapa
teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Mohenjodaro- Harappa disebabkan
karena adanya kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat hebat
serta lama. Atau mungkin juga disebabkan karena bencana alam berupa gempa bumi ataupun
gunung meletus, mengingat letaknya yang berada di bawah kaki gunung. Wabah
penyakit juga bisa dijadikan salah satu alasan punahnya peradaban
Mohenjodaro-Harappa. Tetapi, satu hal yang amat memungkinkan menjadi penyebab
runtuhnya peradaban Mohenjodaro-Harappa ialah adanya serangan dari luar.
Diduga, serangan ini berasal dari bangsa Arya. Mereka menyerbu, lalu
memusnahkan seluruh kebudayaan bangsa yang berbicara bahasa Dravida ini.
Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan pada kitab Weda. Di dalam kitab itu, disebutkan
bahwa bangsa yang dikalahkan itu ialah Dasyu atau yang tidak berhidung. Dugaan
tersebut didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang yang mereka taklukkan
adalah orang-orang yang tidak suka berperang. Hal ini bisa dilihat dari
teknologi persenjataan yang kurang baik, misalnya dari kualitas ujung tombak
maupun pedang mereka. Buktibukti yang lain adalah adanya kumpulan tulang
belulang manusia yang terdiri atas anak-anak dan wanita yang berserakan di
sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum
ataupun jalanan umum. Bentuk dan sikap fisik yang menggeliat, mengindikasikan
adanya serangan, apalagi jika melihat adanya bagian tulang leher yang terbawa
ke bagian kepala, ketika kepala itu terlepas dari tubuh. Sejak 1500 SM,
peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, tidak lama setelah bangsa Arya itu
memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak saat itu, dimulailah masa baru dalam
perkembangan kebudayaan India di bagian utara.
Fase
Hindu Baru
Kaum
Brahmana kembali berusaha memperbaiki ajaran Hindu yang mulai ditinggalkan
pengikutnya, maka lahirlah Agama Hindu Baru. Pada masa ini muncul tiga dewa
besar (Trimurti) yaitu Siwa (dewa perusak), Wisnu (dewa pemelihara), dan Brahma
(dewa pencipta). Ajaran Hindu berkeyakinan tentang adanya reinkarnasi, yaitu
suatu pemahaman bahwa hidup ini akan terus berulang jika manusia tidak dapat
melepaskan diri dari nafsu. Untuk lepas dari lingkaran Samsara tersebut, maka
penganut Hindu harus menyesuaikan hidupnya sesuai Weda dengan melaksanakan
dharma sesuai tuntunan kaum Brahmana. Pada masa itu bangsa Arya mendirikan
Kerajaan Gupta. Kerajaan ini diperintah oleh raja antara lain: Chandragupta,
Samudra Gupta, dan Candragupta
Perkembangan
agama Buddha
Tokoh
pendiri agama Buddha adalah Gautama Sakyamuni. Nama ini mengandung arti orang
bijak dari Sakya, ia diperkirakan lahir pada 563 SM. Ia adalah putra seorang
kepala daerah yang bernama Suddhodana di Kapilavastu, perbatasan Nepal. Ketika
umurnya sudah mencukupi, Gautama menikah dengan kemenakannya yang bernama
Yasodhara. Selang beberapa waktu, Yasodhara melahirkan seorang anak yang
bernama Rahula. Pada umur 29 tahun, Gautama memutuskan untuk meninggalkan
keduniawian, meninggalkan istana dan mengembara dengan jubah kuning. Sampai
pada suatu waktu, ketika Gautama sedang duduk di bawah sebatang pohon pipala di
Bodhi Gaya, ia menerima penerangan atau Bodhi. Di tempat itu kemudian dibangun
candi yang bernama Mahabodhi.[gs]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar